Beranda | Artikel
Mengafani Mayit
16 jam lalu

Mengafani Mayit ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 19 Jumadil Awal 1447 H / 10 November 2025 M.

Kajian Tentang Mengafani Mayit

Hukum ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memerintahkan para sahabat untuk mengafani mayit, dan juga berdasarkan ijmak (konsensus) para ulama bahwa mengafani mayit adalah fardhu kifayah.

Biaya Kafan Jenazah

Permasalahan berikutnya adalah dari mana biaya kafan mayit diambil, atau siapa yang bertanggung jawab atas biayanya.

Mayoritas ulama memilih pendapat bahwa biaya untuk kafan, memandikan, dan menguburkan mayit diambil dari harta peninggalan mayit (harta waris). Semua biaya yang berkaitan dengan pengurusan jenazah—baik kafan, memandikan, maupun menguburkan—diambil dari harta mayit yang ditinggalkan sebelum harta tersebut dibagikan sebagai warisan.

Sebagian ulama berdalil dengan hadits dari sahabat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘Anhu yang menceritakan:

أَنَّهُ أُتِيَ يَوْمًا بِطَعَامِهِ فَقَالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَكَانَ خَيْرًا مِنِّي، فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مَا يُكَفَّنُ فِيهِ إِلَّا بُرْدَةٌ…

“Bahwasanya pada suatu hari ada yang membawa makanan kepada beliau, lalu beliau berkata: ‘Mus’ab bin Umair telah terbunuh (mati syahid), padahal dia lebih baik dariku, dan tidak didapatkan untuknya kain yang bisa dijadikan kafan melainkan hanya selembar kain kecil (burdah). Apabila kepalanya ditutup, kedua kakinya terlihat. Apabila kedua kakinya yang ditutup, maka kepalanya terlihat.`” (HR. Bukhari)

Kisah ini menunjukkan bahwa biaya kafan pada asalnya diambilkan dari harta mayit. Karena jika diambilkan dari harta kaum muslimin secara umum, seharusnya Mus’ab bin Umair dapat mendapatkan kafan yang lebih cukup.

Namun, tidak harus kafan mayit itu berasal dari harta mayit sendiri. Jika diambilkan dari harta mayit dan ternyata tidak mencukupi, maka tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin yang lain untuk menambahkan atau mencukupi kafan untuk mayit. Bantuan dalam penyediaan kafan merupakan sebuah kebaikan, bukan kewajiban.

Mana yang Didahulukan Kafan atau Utang

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai mana yang harus didahulukan bagi mayit yang miskin sekali, apakah utang atau kafan. Jika harta yang dimiliki mayit hanya cukup untuk melunasi utangnya, maka biaya kafan menjadi kurang. Sebaliknya, jika hartanya digunakan untuk membeli kafan, utangnya tidak dapat terbayar lunas.

Ibnu Hazm Rahimahullah mendahulukan pembayaran utang. Beliau beralasan: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan harta waris dan wasiat kecuali pada harta yang ditinggalkan seseorang setelah utangnya dibayar.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

…مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ…

“…sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar utangnya.” (QS. An-Nisa`[4]: 11)

Maka, menjadi benar kesimpulan bahwa utang itu harus didahulukan daripada pembagian warisan, termasuk didahulukan dari biaya kafan. Apabila harta mayit hanya cukup untuk menutup utang, maka harta tersebut digunakan untuk utang. Sedangkan kafan, kewajibannya berpindah kepada kaum muslimin lainnya, sehingga menjadi wajib atas kaum muslimin untuk mengafaninya.

Pendapat yang mendahulukan utang (pendapat Ibnu Hazm) dinilai lebih kuat, meskipun mayoritas ulama menyelisihinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang lebih didahulukan adalah kebutuhan kafan, kemudian utang, baru kemudian wasiat. Setelah itu, jika masih ada sisa, harta dibagi di antara ahli waris.

Pendapat yang mendahulukan utang memiliki dasar yang kuat karena kebutuhan kafan relatif ringan apabila dibebankan kepada kaum muslimin. Sementara itu, utang yang tidak terlunasi memiliki pengaruh yang lebih berat, yaitu dapat memengaruhi roh mayit hingga tersiksa dan urusannya tertahan.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya sampai utang itu dilunasi darinya.” (HR. Tirmidzi)

Adapun pengaruh tidak dikafani tidak sampai pada tingkat yang demikian berat. Oleh karena itu, jika terjadi kondisi di mana harta mayit hanya cukup untuk satu kebutuhan, utang harus didahulukan agar roh mayit terbebas dari jeratan utang. Biaya kafan yang ringan dapat dibebankan kepada kaum muslimin yang lain sebagai bagian dari fardu kifayah.

Biaya Kafan Istri

Masalah berikutnya adalah mengenai kewajiban biaya kafan seorang istri yang meninggal dunia, terutama jika ia memiliki harta waris dan suami yang masih hidup. Pembahasan ini berfokus pada ranah hukum, bukan masalah moral suami mau menanggung biaya istrinya atau tidak.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kewajiban ini:

  1. Pendapat Pertama: Sebagian ahli ilmu berpendapat, suami diwajibkan menanggung biaya kafan istrinya dan juga biaya-biaya lain untuk kebutuhan pengurusan mayatnya.
  2. Pendapat Kedua (Lebih Kuat): Pendapat lain menyatakan bahwa biaya kafan istri diambilkan dari harta yang ia tinggalkan apabila ia memiliki harta, dan tidak diwajibkan kepada suaminya.

Alasan Utama: Harta seorang muslim harus dijaga dan dihormati. Harta kaum muslimin tidak dibolehkan untuk diambil kecuali dengan dalil (nash) dari Al-Qur’an atau hadits, atau dibolehkan oleh pemiliknya sendiri.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian itu haram atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksud dari hadits tersebut adalah harta kaum muslimin harus dijaga dan dihormati, tidak boleh diambil kecuali dibolehkan oleh syariat.

Alasan Turunan:

  1. Kewajiban Suami Terbatas pada Nafkah Hidup: Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mewajibkan kepada suami untuk memberikan makanan, pakaian, dan tempat tinggal selama istri masih hidup.
  2. Kafan Bukan Pakaian: Dalam bahasa Arab yang digunakan untuk syariat, kafan tidak disebut sebagai pakaian.
  3. Kubur Bukan Tempat Tinggal: Kuburan juga tidak disebut sebagai tempat tinggal.

Dengan demikian, menurut pendapat ini, seorang suami tidak diwajibkan untuk membiayai kafan mayat istrinya, dan juga tidak diwajibkan untuk membiayai penguburan istrinya. Biaya tersebut menjadi tanggungan harta istri.

Masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak ditemukan nash secara khusus yang menjelaskannya. Dan kemungkinan seorang suami tidak mau membiayai kafan istrinya sangat kecil.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa pendapat yang mengatakan suami tetap berkewajiban menanggung biaya kafan istrinya terlihat lebih kuat.

Alasan Penguatan Pendapat Mayoritas (Suami Wajib Menanggung):

  1. Kafan sebagai Kebutuhan Pokok Mayit: Seorang suami memiliki kewajiban menafkahi istrinya pada kebutuhan-kebutuhan pokok, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Bagi mayit, kafan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi.
  2. Hubungan Suami Istri Tidak Terputus Total: Hubungan suami istri tidak terputus dengan kematian. Mayit wanita tetap dianggap sebagai istri. Dalilnya adalah dibolehkannya suami memandikan jenazah istrinya.

Contohnya, sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu memandikan jenazah istrinya, Fatimah binti Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan suami istri tidak terputus meskipun salah satunya meninggal dunia. Bahkan, telah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa seorang istri akan bersama dengan suami terakhirnya di surga.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55777-mengafani-mayit/